Horizontal-White
0%
Please wait ...

PERKEMBANGAN TERBARU AI AWAL 2025 (BAGIAN II-Habis)

oleh Dimitri Mahayana

SELAIN DeepSeek yang telah mengguncang, potensi lain AI (Akal Imitasi/Artificial Intellegence) tahun ini adalah Agentic AI akan muncul sebagai tren teknologi strategis teratas. Agentic AI membawa otomatisasi ke tingkat baru dengan kemampuan merencanakan, mengambil keputusan, dan beradaptasi secara mandiri. Tren ini mendorong AI untuk mengelola alur kerja kompleks, mengkoordinasikan sumber daya, dan berkolaborasi tanpa campur tangan manusia, merevolusi berbagai sektor seperti bisnis dan penelitian ilmiah.

Agentic AI: Peluang atau risiko?
Agentic AI adalah sistem AI yang memiliki tingkat otonomi dan dapat bertindak sendiri untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak seperti model AI tradisional yang hanya merespons perintah atau tugas yang ditentukan, Agentic AI dapat membuat keputusan, merencanakan tindakan, dan bahkan belajar dari pengalamannya dalam mencapai tujuan.

Agentic AI memiliki kapabilitas chaining, yaitu dapat melakukan serangkaian tindakan sebagai respons suatu permintaan, serta memecah tugas kompleks menjadi tugas-tugas kecil dan mudah dikelola. Karena “pintar”-nya ini, maka pada 2028, diperkirakan setidaknya 15 persen pengambilan keputusan di perusahaan sehari-hari akan berjalan otonom melalui Agentic AI, demikian dilansir dari riset Gartner, 2025 Top 10 Strategic Technology Trends. Agentic AI merupakan evolusi dari dua pengembangan awal.

Pertama, AI Narrow (AI yang dirancang untuk tugas spesifik dan tidak bisa beradaptasi di luar fungsi diprogramkan).

Kedua, AI yang berkembang saat ini, yaitu Generatif AI (AI yang dapat membuat konten baru, seperti teks, gambar, audio, dan video, berdasarkan data yang telah dipelajari). 

Penerapan Agentic AI memiliki beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan masak-masak oleh perusahaan.

Pertama adalah keamanan. Dengan pengambilan keputusan yang independen dan kurangnya pemantauan, agen AI yang sudah disusupi dapat dimanipulasi untuk membuat keputusan membahayakan.

Risiko kedua adalah perilaku tidak terduga. Karena beroperasi tanpa pengawasan manusia secara real-time, agen AI bisa saja menjalankan tugas dengan cara yang tidak dapat diantisipasi penggunanya.

Risiko ketiga, yaitu biaya, energi, dan sumber daya. Sistem agentic AI yang kompleks membutuhkan biaya tinggi serta sumber daya komputasi ekstensif yang menghabiskan banyak energi.

Risiko keempat, etika dan sosial. Jika agen AI membuat keputusan yang mengakibatkan kerugian, sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab.

Risiko kelima, kendali manusia. Karena kurangnya pengawasan secara real-time dari manusia, sulit untuk memonitor dan menghentikan sistem agen AI yang bermasalah tepat waktu.

Risiko keenam, ketergantungan ke pihak ketiga. AI Agentic yang sophisticated biasanya dioperasikan oleh pihak ketiga, yakni perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri di bidang AI. Hal ini akan menambah ketergantungan ke pihak ketiga.

Setelah era AI Agentic, dunia diperkirakan akan memasuki era AGI/Artificial General Intelligence (AI yang memiliki kecerdasan setara manusia, dapat berpikir, memahami, dan belajar di berbagai domain tanpa batasan spesifik) serta ASI/Artificial Super Intelligence (AI yang jauh lebih cerdas daripada manusia dalam semua aspek, termasuk kreativitas, pengambilan keputusan, dan emosi).

Namun, kehadiran AGI dan ASI masih menjadi kontroversi. Di kalangan para saintis yang menggeluti AI maupun para pemikir tentang masa depan AI, eksistensi AGI dan ASI di masa depan masih menjadi big question mark (tanda tanya besar). 

Pendukung narasi optimistis AI seperti Kurzweil percaya bahwa ASI akan terwujud, AI benar-benar akan lebih cerdas dari manusia. 

Pendukung narasi kritis AI seperti Geoffrey Hinton, mengkhawatirkan AI yang seperti ini akan lepas kendali. 

Pendukung narasi alternatif AI seperti Noam Chomsky percaya bahwa secerdas apa pun AI, khususnya LLM, sebenarnya dia hakikatnya tetap adalah mesin autofill super-cerdas. Dalam hal ini, bisa dibaca buku yang baru diterbitkan oleh ITB Press, “19 Narasi Besar AI”.

Membuka benang kusut ROI dari AI

Selanjutnya, kita saat ini telah melihat dan mencatat bahwa investasi ke AI Generatif terus meroket.

Meskipun terjadi penurunan investasi AI secara keseluruhan tahun lalu, tapi pendanaan untuk AI generatif sendiri sejak 2022 melonjak, yakni hampir mencapai 25,2 miliar dollar AS. 

Meskipun begitu, ternyata sebagian besar perusahaan masih kesulitan untuk menghitung atau menentukan Return of Investment (ROI) dari inisiatif AI yang telah dilakukan perusahaan. Dari survei “BCG Build for the Future 2024 Global Study (merged with DAI)”, ternyata 66 persen responden mengatakan bahwa sulit memperoleh ROI dari bidang yang diidentifikasi memiliki peluang AI. Dalam survei ini, benar-benar memperoleh ROI yang profitable merupakan tantangan pertama investasi AI.

Lebih lanjut, dari survei yang sama, 74 persen perusahaan kesulitan untuk mencapai dan meningkatkan nilai AI bagi perusahaan. Hanya 4 persen perusahaan yang secara konsisten dapat menghasilkan value signifikan dari implementasi AI.

Lebih detailnya, kondisinya adalah sebagai berikut:

  • Sebanyak 25 persen dalam AI stagnating. Keadaan sedang mengambil tindakan minimal atau bahkan tidak melakukan apa-apa terkait AI, kurang memiliki kemampuan dasar, dan tidak menghasilkan value.
  • Sebanyak 49 persen dalam keadaan AI emerging. Keadaan telah mengembangkan kemampuan dasar dan memulai eksperimen awal, tapi masih menghadapi kesulitan untuk meningkatkan skala dan menghasilkan value.
  • Sebanyak 22 persen dalam keadaan AI scaling. Keadaan telah mengembangkan strategi AI dan kemampuan yang maju, serta berhasil meningkatkan skalanya secara efektif sambil mulai menghasilkan value.
  • Sebanyak 4 persen dalam keadaan AI future-built. Keadaan AI berada di garis depan inovasi AI, secara sistematis membangun kemampuan AI mutakhir di berbagai fungsi, dan secara konsisten menghasilkan value yang signifikan.

Berdasarkan survei lain dari Atomic Work, 35 persen responden juga menyatakan bahwa terlalu awal untuk mengatakan terkait ROI dari investasi AI.

Dari sumber lain, 85 persen pemimpin data, analitik, dan TI berada di bawah tekanan untuk menghitung ROI dari Generative AI, menjadikan hal ini sebagai keharusan strategis bagi organisasi. Padahal masih banyak tantangan untuk menghitung maupun mewujudkan ROI dari Generative AI.Para pemimpin bisnis mulai menyadari bahwa pengembalian investasi (ROI) dari AI membutuhkan waktu lebih lama dari yang diharapkan, sehingga mereka menggeser fokus untuk secara pragmatis memberikan ROI dalam jangka waktu yang lebih panjang. Ketidaksabaran terhadap hasil ROI AI dapat mendorong perusahaan untuk secara prematur mengurangi investasi, yang justru akan merugikan dalam jangka panjang.

Sebaliknya, para pemimpin AI harus membangun strategi yang solid dan selaras dengan model bisnis serta aspirasi perusahaan mereka. Para pemimpin AI juga harus menghindari estimasi berlebihan terhadap kemampuan AI. Salah satu strateginya adalah dengan memilih use case yang unik dengan memanfaatkan data dan keahlian spesifik perusahaan, serta buat roadmap yang menyeimbangkan ROI jangka pendek dan panjang untuk menciptakan efek flywheel — di mana kesuksesan awal dapat digunakan untuk mendanai proyek AI di masa depan.

AI menghapus lapangan kerja? 

Dari sisi lapangan kerja di berbagai bidang, AI juga menghadirkan tantangan besar. Banyak pekerjaan mulai tergantikan AI, menciptakan kekhawatiran tentang pengurangan lapangan kerja dan perlunya upskilling bagi tenaga kerja terdampak. Sundar Pichai, CEO Google, telah memperingatkan ahli perangkat lunak bahwa lebih dari 25 persen coding layanan Google kini telah ditulis AI.

Pengumuman ini menandai pergeseran fundamental dalam lanskap peng-kodean program, di mana AI semakin berbagi beban kerja dengan insinyur manusia. Sam Altman, CEO OpenAI, dalam bukunya, Our AI Journey, menulis bahwa AI akan menggantikan 95 persen pekerjaan divisi marketing. “95 persen pekerjaan yang saat ini dilakukan oleh agensi, strategist, dan profesional kreatif untuk kebutuhan marketing akan dengan mudah diambil alih AI. AI akan melakukannya seketika, tanpa biaya, dan dengan tingkat akurasi yang mendekati sempurna. Gambar, video, atau konsep kampanye? Semua itu tidak akan menjadi masalah,” katanya.
Di China, Robotaxi atau taksi tanpa awak mulai merebak serta berpotensi menggeser 7 juta sopir taksi saat ini. Di negeri ini, terdapat 19 kota yang saat ini sedang melakukan uji coba robotaxi dan robobus serta taksi/kendaraan tanpa driver. Adopsinya didukung pemerintah dengan kemudahan izin. Namun sekali lagi, adopsi cepat robotaxi dan robobus ini telah mengguncang tenaga kerja level bawah di China, yang telah menderita akibat upah stagnan karena deflasi yang mengintai ekonomi setelah pandemi virus corona.
Oleh karena itu, sebagai penegasan berulang dari sekian tulisan penulis, keseimbangan antara manfaat produktivitas dan dampak sosial AI terhadap tenaga kerja menjadi isu krusial yang harus dihadapi oleh pemerintah dan industri.

Mendukung hilirisasi riset
AI juga menggairahkan banyak riset, khususnya dan perguruan tinggi umumnya. Terbukti, banyak kampus ternama Tanah Air membuka jurusan terkait kecerdasan buatan ini.Namun, yang menarik dari itu, hilirisasi riset sudah kuat terjadi. Lagi-lagi, inilah yang membedakan dengan teknologi gagal sebelumnya semacam Mateverse. Dengan kemampuannya dalam menganalisis data kompleks dan menghasilkan solusi inovatif, AI menjadi pendorong utama transformasi ilmu pengetahuan di era modern.
Ambil contoh perbankan nasional berusia satu abad lebih yang tumbuh berkelanjutan, BRI. Dengan citra sebagai bank yang melayani wong cilik, digitalisasi BRI memang luar biasa.Dalam survei “Bank Service Excellence Monitor (BSEM) 2024”, BRI memperoleh peringkat pertama dalam kategori Performa Terbaik Mobile Banking Bank untuk BRImo dan Performa Terbaik Chatbot Bank untuk Sabrina. Sabrina Chatbot meningkatkan pengalaman nasabah dengan menawarkan interaksi teks dan suara dengan dukungan multibahasa dan pemahaman bahasa alami yang lebih baik .

Selain itu, BRI juga menerapkan dan mengembangkan BRIBrain dengan empat fitur: 

  • Sistem penilaian BRILink (BRILink Score). Dengan BRIBrain, penilaian kelayakan calon Agen BRILink dilakukan secara praktis dan realtime. Saat ini terdapat lebih dari 1 Juta Agen BRILink di seluruh Indonesia. 
  • BRIBrain membuat proses penilaian kredit (Credit Scoring) menjadi lebih akurat. 
  • BRIBrain membantu BRI memetakan profil nasabah secara tepat sehingga pendekatan komunikasi dengan nasabah menjadi cepat dan akurat (Customer Profiling Score). 
  • BRIBrain membuat BRI lebih cepat menemukan potensi tindakan kejahatan perbankan, seperti penipuan atau fraud yang dapat menimpa nasabah atau perseroan (Fraud Score).
  • BRIBrain dapat menemukan anomali dan tindak kejahatan pada transaksi dengan cepat. Penggunaan AI juga semakin meluas di berbagai skala bisnis, termasuk startup. Salah satu contohnya adalah Pitik, startup yang bergerak di sektor peternakan.

Penggunaan AI juga semakin meluas di berbagai skala bisnis, termasuk startup. Salah satu contohnya adalah Pitik, startup yang bergerak di sektor peternakan.

Pitik menerapkan teknologi modern dalam pengelolaan peternakan ayam dengan memanfaatkan perangkat IoT pintar dan algoritma berbasis AI. Sistem ini memungkinkan pemantauan kondisi kandang secara real-time, termasuk suhu, kelembapan, dan kadar amonia, sehingga meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan. 

Algoritma machine learning yang dikembangkan Pitik diklaim mampu memprediksi siklus produksi yang bermasalah dengan akurasi lebih dari 90 persen, sehingga peternak dapat mengambil langkah pencegahan sebelum masalah muncul. Perkembangan dan booming online transportation seperti GOJEK, GRAB, Maxim, In Drive maupun online marketplace seperti Tokopedia, Shopee tentu juga tidak lepas dari AI.

Transportasi online dari awal eksistensinya sangat bergantung pada algoritma-algoritma cerdas untuk mencari rute tercepat. Persaingan dalam transportasi online akan lebih mudah dimenangkan oleh perusahaan yang menggunakan teknologi dan algoritma AI untuk memberikan rekomendasi rute maupun rekomendasi driver terdekat.

Demikian pula online marketplace. Selain kenyamanan UI/UX dan persaingan dalam menggaet merchant yang memberikan kualitas terbaik dengan harga termurah, kecanggihan mesin perekomendasi berbasis AI yang ada di masing-masing online marketplace akan menjadi sangat menentukan. Jadi, AI benar-benar telah membawa riset ke hilir! Perusahaan-perusahaan yang ragu untuk melakukan riset terus menerus menggunakan AI terbaik, bisa jadi akan segera terdisrupsi oleh para kompetitornya. Pusat-pusat riset AI kini tidak hanya ada di kampus, tapi juga di berbagai perusahaan.

Akhir kata, penerapan AI yang over optimistic dan overestimate akan nilai dan ROI-nya tanpa benar-benar memperhitungkan cost-risk-benefit beserta faktor etis, compliance regulasi dan dampak sosialnya juga akan berakibat fatal. Pemerintah didukung oleh bisnis dan akademisi seharusnya bahu membahu membangun AI khas Indonesia yang tetap berada di jalan tengah Minimize the risk & Maximize the benefit. Suatu jalan tengah yang tidak optimistis berlebihan, tidak pula antikemajuan, tapi benar-benar ada di third way, mengikuti terminologi Anthony Gidden. Jalan tengah AI yang benar-benar mendukung Narasi Indonesia Emas 2045.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perkembangan Terbaru AI Awal 2025 (Bagian II-Habis)”, Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2025/03/11/16093857/perkembangan-terbaru-ai-awal-2025-bagian-ii-habis?page=3.

Shopping cart0
There are no products in the cart!
Continue shopping
0