oleh Dimitri Mahayana
MEMASUKI triwulan pertama tahun ini, rasa-rasanya kita sudah semakin sulit lepas dari AI (Akal Imitasi/Artificial Intellegence). Sebab, fungsinya riil terasa seluruh lapisan, bukan teknologi yang penampakannya canggih keren tapi tak benar-benar berguna. AI jelas berlipat ganda manfaat riil, beribu dampaknya, serta berjuta kontribusinya dibandingkan teknologi keren sebelumnya –yang akhirnya layu sebelum berkembang– semacam Metaverse, Google Glass, Apple Newton, dst. Maka itu, banyak pertanyaan awal tahun sampai ke penulis: Apakah AI akan menciptakan singularitas teknologi (masa ketika kecerdasan buatan berkembang jauh sehingga melampaui kecerdasan manusia dan akhirnya mengubah peradaban umat manusia)?
Akan hal ini, penulis memiliki pemahaman sama dengan apa yang ditulis Kamer Daron Acemo?lu, Ekonom Amerika Serikat kelahiran Turkiye pemenang Nobel Ekonomi 2024. “Persentase perusahaan yang benar-benar menggunakan AI tampaknya relatif kecil, dan mereka menggunakannya dengan cara yang tidak memberikan manfaat besar bagi perekonomian. Beberapa perusahaan sedang bereksperimen dengannya. Sementara itu, dari perusahaan yang telah menggunakannya ke bisnis sehari-hari, kebanyakan hanya menggunakan untuk hal-hal seperti pemasaran yang dipersonalisasi dan layanan pelanggan otomatis. Hal ini tidak terlalu menarik,” kata dia. Peter Dizikes menuliskan,“ Meskipun ada beberapa prediksi bahwa AI akan menggandakan pertumbuhan PDB AS, Acemoglu memperkirakan AI akan meningkatkan PDB sebesar 1,1 persen hingga 1,6 persen selama 10 tahun ke depan, dengan peningkatan produktivitas tahunan sekitar 0,05 persen.
Penilaian ini didasarkan pada estimasi terkini tentang berapa banyak pekerjaan yang terpengaruh—tetapi menurutnya dampaknya akan terarah.” (MIT Technology Review, 25 Februari 2025) Jadi, singkatnya, Acemoglu tidak terseret arus hype AI dan mengajak dunia untuk kritis dan rasional terhadap AI. Di sisi lain, tidak juga pesimistis pada AI layaknya seorang luddites yang antiteknologi. Ia mengajak pada suatu pendekatan rasional. AI perlu dihitung dengan cermat cost-benefit-nya. Atau lebih lengkap lagi cost-risk-benefit-nya. Pada titik awal tulisan ini, penulis me-resume bahwa AI memang telah mampu mengungguli manusia dalam beberapa tugas, seperti pengenalan gambar, penalaran visual, dan pemahaman bahasa.
Namun, pada tantangan yang lebih kompleks—seperti matematika tingkat lanjut, pemahaman konteks visual secara mendalam, dan perencanaan strategis—kemampuan AI masih belum sebanding dengan kecerdasan manusia. Merujuk riset Eric Zhou and Dokyun Lee tentang “generative artificial intelligence, human creativity, and art, PNAS Nexus”, Maret 2024, nyata terjadi adanya dampak signifikan AI generatif terhadap kreativitas manusia dan produksi seni. Dengan menganalisis lebih dari 4 juta karya seni dari 50.000 pengguna unik, studi ini mengungkap, adopsi AI teks ke gambar meningkatkan produktivitas kreatif manusia sebesar 25 persen. Selain itu, efektif meningkatkan nilai karya seni sebesar 50 persen berdasarkan kemungkinan mendapatkan favorit per tampilan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kebaruan konten dan visual yang dihasilkan menurun. Ini bisa kita rasakan ketika kita terus “mengejar” sebuah jawaban AI, semisal ChatGPT, kecenderungannya tidak memberi jawaban yang benar-benar baru, tapi sekadar merangkai kata dan kalimat baru bersubstansi serupa.
Bila ini dilakukan terus menerus secara meluas, seiring dengan berjalannya waktu, alih-alih meningkatkan produktifitas para seniman, penggunaan AI bisa merupakan awal era kemandegan kreatifitas dalam seni. Hal yang sama juga sangat dikhawatirkan muncul dalam penggunaan AI Generatif di bidang penulisan dan yang lainnya. Isu besar kedua yang menghambat perkembangan penggunaan AI, – khususnya LLM- adalah kurangnya standar evaluasi seragam dalam menilai tanggung jawab AI (responsible AI) sehingga membuat perbandingan risiko antarsistem AI berbasis LLM menjadi sulit. Berbagai pengembang utama, seperti OpenAI, Google, dan Anthropic, menerapkan tolok ukur berbeda dalam pengujian model mereka. Hal ini membuat sulitnya upaya dalam membandingkan risiko dan keterbatasan AI secara sistematis.
Adanya ketidakkonsistenan dalam pelaporan komparasi Responsible AI oleh pengembang model karena tidak ada standar universal. Sebagai contoh, Truthful QA (mekanisme tanya jawab dalam AI) hanya dipakai tiga dari lima pengembang, sementara benchmark lain digunakan maksimal dua pengembang. Bahkan satu pengembang tidak melaporkannya sama sekali, meskipun semuanya menyatakan telah melakukan pengujian internal. Penelitian AI Index 2024 menyebutkan, situasi ini menghambat perbandingan kinerja model yang mungkin disebabkan benchmark yang cepat usang, kurangnya standar pelaporan untuk benchmark baru, atau pengembang selektif melaporkan hasil hanya yang menguntungkan. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan bersama mengenai benchmark wajib yang harus dilaporkan secara konsisten oleh seluruh pengembang model. Baca juga: Mengelola Artificial Intelligence Melalui AI Governance dan Management System Diharapkan ini juga untuk AI LLM yang basisnya bukan bahasa Inggris, dan juga untuk AI berbasis LLM yang tidak hanya dari Amerika Serikat, tapi juga Cina dan berbagai negara lain.
Kompetisi Global AI
Siapa yang akan menjadi leader dunia dalam AI? Apakah Amerika Serikat tetap akan menjadi leader dan pemenang? Ataukah terjadi tren lain di dunia? Hal ini menjadi isu yang hangat terutama sejak Deepseek diluncurkan secara khususnya dan umumnya hasil-hasil kinerja dari para pengembang AI di China. Deepseek sudah benar-benar menggoncang supremasi Amerika Serikat pada bidang AI. Dengan model seperti DeepSeek-R1, perusahaan ini membuktikan bahwa China mampu bersaing dalam pengembangan AI, bahkan dalam aspek seperti pemrosesan bahasa, pemrograman, dan penalaran.
Bahkan, kehadirannya berefek dahsyat pada penurunan beberapa nilai saham perusahaan teknologi hingga pemasok listrik di Amerika Serikat (lihat gambar di bawah) sekaligus memengaruhi pasaran harga kripto. DeepSeek mungkin tidak ada hubungannya dengan kripto, tetapi masuknya DeepSeek secara tiba-tiba ke dalam pasar AI, memengaruhi harga kripto. Harga Bitcoin turun 6 persen, Ether 7 persen, dan beberapa altcoin merugi hingga dua digit, ketika pasar saham merespons munculnya DeepSeek AI open-source yang dapat menyaingi OpenAI dengan biaya jauh lebih murah.
JP Richardson, CEO Crypto Exchange Exodus mengatakan, “Crypto hanyalah ‘korban’ dari sentimen pasar yang lebih luas. Crypto adalah ‘risk-on’ asset, sehingga ketika ada guncangan di pasar saham, seperti kemunculan DeepSeek yang tidak terduga ini, biasanya akan ada korelasi jatuhnya harga sama, begitu juga mata uang kripto dan bitcoin.” Sekalipun baru didirikan tahun 2023 di Hangzhou, China, performa Deepseek benar-benar mengguncang. Mereka didanai penuh oleh High-Flyer (salah satu perusahaan top hedge fund di China). Model pendanaan unik ini memungkinkan DeepSeek menjalankan proyek AI tanpa tekanan investor eksternal, sehingga mendorong penelitian dan pengembangan AI dalam jangka panjang. Selain itu, pada 2022, High-Flyer sendiri sudah membeli sebanyak 10.000 A100 graphics processor chips dari Nvidia, sebelum pemerintah Amerika Serikat melarang penjualan chip canggih, seperti A100, ke Negeri Tirai Bambu itu.
Seorang Mark Zuckerberg, pendiri Meta, sampai mengatakan, dirinya masih mencerna beberapa prestasi DeepSeek dan timnya berharap untuk akhirnya mengimplementasikan beberapa kemajuan tersebut untuk proyek-proyek AI mereka sendiri. Festival Lentera Taiwan 2025, Perpaduan Identitas Lokal dan Teknologi AI Artikel Kompas.id Microsoft juga mengambil pendekatan ‘if you can’t beat them, join them’ dengan menambahkan DeepSeek-R1 ke dalam platform layanan AI miliknya. Lantas, Angkatan Laut AS telah menginstruksikan anggotanya tidak menggunakan DeepSeek karena potensi masalah keamanan dan etika.
Puncaknya, undang-undang di Amerika Serikat diusulkan Senator Josh Hawley agar memberikan denda signifikan/hukuman penjara bagi individu yang menggunakan DeepSeek! Selain Deepseek, persaingan di dunia AI semakin memanas dengan adanya beberapa model AI yang dikeluarkan dari beberapa perusahaan China. Alibaba telah merilis Qwen 2.5-Max, yang diklaim mampu mengungguli model-model AI pesaing, baik dari luar maupun dalam negeri China. Sementara itu, Tencent menghadirkan Yuanbao, chatbot AI yang bahkan berhasil menggeser DeepSeek di toko aplikasi iOS Tiongkok, menunjukkan tingginya daya saing teknologi AI di negara tersebut. Dominasi China dalam inovasi AI bukanlah kebetulan. Realitas ini sulit dipisahkan dari fakta berikut: China adalah negara yang memenangkan “perlombaan” jumlah paten AI, jauh di atas negara-negara lain. Pada 2022 dan 2023, mereka mendaftarkan 60.000-70.000 paten, dua/tiga kali lipat dari negara lainnya!
Bersambung ke Bagian II
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perkembangan Terbaru AI Awal 2025 (Bagian I)”, Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2025/03/11/10550167/perkembangan-terbaru-ai-awal-2025-bagian-i?page=1.