Regulasi Harus Diakselerasi

Dalam menegakkan UU Telekomunikasi, sebaiknya semua pihak menghormati Kemkominfo sebagai lembaga yang mendapat tugas mengawal UU tersebut.

Industri telekomunikasi kian hari menunjukkan tajinya sebagai salah satu penggerak perekonomian Indonesia. Masuknya negara ini dalam kategori investment grade akan kian menggairahkan investor untuk berinvestasi di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) sebagai salah satu andalan konektivitas. Sayangnya, regulasi untuk TIK di Indonesia sering datang terlambat dan tidak memunyai aturan yang kokoh layaknya industri perbankan yang dibina oleh Bank Indonesia.

“Industri telekomunikasi disebut sebagai high regulation hanya untuk mengatur sumber daya alam terbatas seperti frekuensi. Tetapi untuk aspek operasional itu belum solid. Padahal, dengan adanya 200 juta pengguna nirkabel di Indonesia, aturan untuk hal tersebut sesuatu yang mutlak untuk kepastian investasi,” ungkap Chairman Sharing Vision Dimitri Mahayana di Jakarta, Rabu (25/1).

Disarankannya, pemerintah harus secepatnya mengakselerasi regulasi mengantisipasi perkembangan teknologi dan bisnis di masa depan agar ketidakpastian hukum bagi investor bisa diminimalisasi.

“Para penegak hukum juga harus konsisten, jangan semangatnya seperti mencari-cari kesalahan, terus menggunakan berbagai regulasi untuk menjerat pebisnis TIK. Ini namanya inkonsisten dan membahayakan arus investasi,” katanya.

Praktisi telematika MS Manggalany menyarankan para penegak hukum tidak gegabah dalam melihat satu model bisnis di industri TIK dan langsung menyatakan bersalah tanpa memahami undang-undang yang mengayominya.

“Sekarang tengah ramai kasus Indosat Mega Media (IM2) yang dianggap menyalahi aturan karena menggunakan frekuensi 3G tanpa ikut tender. Ini lucu sekali, padahal aturan main sebagai penyedia jasa dan jaringan itu sudah jelas,” keluhnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejakgung) tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi di PT Indosat Tbk (Indosat) dan anak usahanya, IM2, terkait penyalahgunaan pita frekuensi 2,1 Ghz yang merugikan keuangan negara 3,8 triliun rupiah. Kasus tersebut berawal pada 2007, Indosat mendapatkan frekuensi 3G ini bersama Telkomsel dan XL, namun disalahgunakan dengan menjual internet broadband dan diakui sebagai produk IM2.

Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58 Ayat (3), dan Permen Nomor 7 Tahun 2006, yaitu penyelenggara jasa tersebut harus memiliki izin sebagai penyelenggara 3G sendiri. Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menjelaskan dalam menegakkan UU Telekomunikasi, sebaiknya semua pihak menghormati Kemkominfo sebagai lembaga yang mendapat tugas mengawal UU tersebut.

“Dalam kasus IM2 terlihat ada ketidakpahaman terhadap regulasi yang ada. IM2 bukan berjualan bandwitdh, tetapi koneksi sebagai mitra operator jaringan dan sudah sesuai dengan KM 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Kita sudah terangkan ini ke Kejaksaan, entah kenapa kasus ini maju terus,” keluhnya.

 

Sumber

Shopping cart0
There are no products in the cart!
Continue shopping
0