BANDUNG, (PRLM).- Penyedia layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) masih terkonsentrasi di daerah urban serta daerah yang secara ekonomi mampu membeli layanan tersebut. Hal itu menyebabkan kesenjangan TIK yang bisa berimbas pada ketidakmerataan ekonomi maupun pembelajaran bagi warga.
Pengamat TIK sekaligus Chief Sharing Vision, Dimitri Mahayana, mengatakan, pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah rural yang daya belinya rendah terkait penyebaran TIK tersebut. Menurutnya, jarak digital yang semakin menganga bisa menyebabkan perbedaan kesempatan untuk maju dan belajar semakin menganga.
“Dan hal itu akan menyebabkan keadilan sosial tidak terwujud secara merata,” ujarnya dalam seminar Outlook Industri Teknologi Informasi 2013, di Hartwood Cafe, Jln. Cimanuk, Jumat (21/12).
Dia menyebutkan, Indonesia memiliki daerah rural yang masih besar. Namun demikian, daerah tersebut masih ada yang belum terjamah oleh TIK. Dia mengilustrasikan, mayoritas nelayan saat ini tidak memiliki layanan broadband yang memadai. Padahal, itu dapat menuntun mereka untuk mengetahui di mana letak ikan pada saat melaut.
“Para petani di daerah rural juga sebagian besarnya tidak memiliki layanan informasi yang memadai tentang kondisi harga produk agrikultur di pasaran,” ujarnya.
Dia menambahkan, layanan anjungan tunai mandiri (ATM) dan sejenisnya masih sulit dijangkau di berbagai lokasi di daerah rural. Menurutnya, hal itu akan menyulitkan kegiatan perekonomian di kawasan tersebut.
“Pemerintah perlu berkolaborasi bersama dengan seluruh pemain yang memberikan layanan publik untuk menekan dan mereduksi jarak digital yang ada,” tuturnya.
Dia mengatakan, penggunaan teknologi baru yang efisien dan efektif, seperti smartphone berbasis android dengan berbagai aplikasinya, kemungkinan besar bisa mengurangi jarak digital di Indonesia.
Meskipun penyebaran TIK masih belum merata, dia menambahkan, infrastruktur TIK di wilayah urban juga masih menemui kendala. Terutama terkait Business Continuity Management (BCM) para penyelenggara layanan TIK. “Bila kesiapan BEC para operator itu tidak meningkat dan dipastikan oleh regulator, layanan publik bisa break dan hancur,” katanya.
Menurutnya, hal itu pernah terjadi pada Bursa Efek Indonesia (BEI), Angkasa Pura 2, serta layanan Black Berry. Dari kejadian yang menimpa ketiga institusi itu, dia mengatakan, down sistem TIK yang tidak disertai BCM akan berdampak pada penurunan performa pelayanan-pelayanan yang penting dan kritikal bagi publik.
“Dalam hal ini, regulator perlu memperketat supervisi terhadap para pemain dalam industri TIK, serta meningkatkan pembinaan SDM untuk mendorong pengembangan dan pembangunan efektifitas BCM para penyedia layanan publik dengan sistem elektronik,” ujarnya. (A-204/A-26)***