Lembaga Riset Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Sharing Vision menilai pemerintah sebagai pemberi regulasi dalam berbagai aturan harus segera turun tangan atas praktik intrusive advertising yang belakangan ramai diperbincangkan.
Sebelumnya diketahui, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan Asosiasi Digital Indonesia (IDA) secara resmi melaporkan bahwa pihaknya menolak praktik intrusive advertising yang dilakukan oleh operator telekomunikasi yaitu Telkomsel dan XL Axiata.
Hal ini muncul setelah dua operator tersebut melakukan praktik instrusive advertising dalam dua format yaitu interstitial ads dan off-deck ads. Interstitial ads biasanya ditayangkan dalam satu layar penuh sebelum pengguna masuk ke halaman situs yang dituju, sedangkan format off-deck ads disisipkan di bagian atas halaman sebuah situs.
Chief of Sharing Vision Dimitri Mahayana menilai pemerintah harus segera turun tangan dan menata hal ini tanpa bisa ditunda-tunda, dimana regulasi khusus harus segera ditetapkan tanpa mengundang multi tafsir. Namun, pada sisi lain tetap memuaskan rasa keadilan berbagai pihak terkait, terutama dari sisi pelanggan, juga para operator telekomunikasi maupun penyedia konten internet.
Menurutnya, pemerintah tetap tidak boleh melupakan dimensi ancaman kebangkrutan operator telekomunikasi Indonesia di era supremasi over the top (OTT) seperti Google, Youtube, Facebook, Whatsapp, Yahoo, dan lainnya.
“Nampaknya, dibutuhkan regulasi baru yang lebih jelas mengatur tentang hal ini. Sekalipun dari sudut pandang operator telekomunikasi, intrusive advertising mungkin bisa dipandang sebagai salah satu cara mengimbangi kekuatan OTT,” katanya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2014).
Dimitri mengatakan sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan operator telekomunikasi sedunia tertekan luar biasa, karena pasarnya diambil alih oleh perusahaan OTT. Hasilnya, penghasilan dan nilai dari perusahaan OTT meningkat secara melejit dibandingkan operator telekomunikasi.
Seluruh jaringan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh operator terdegradasi menjadi pipa dan OTT bebas mengelola isinya, menembus batas-batas negara, bahkan dapat dikatakan menjadi imun terhadap pajak dan implikasi hukumnya.
“Sebagai contoh, salah satu sumber penghasilan utama Google adalah online advertising. Kita juga sering disuguhi intrusive advertising oleh Youtube misalnya, pada saat ingin menonton video klip yang kita inginkan.”
Para pengamat bisnis telekomunikasi juga sudah memprediksi industri bisnis TIK memiliki nilai pertumbuhan yang sangat kecil bahkan negatif. Namun, kemampuan operator telekomunikasi di Indonesia untuk bertahan dan survive dinilai layak untuk dipuji.
Berkaitan dengan operator telekomunikasi, hal ini disimpulkan dari hasil informasi terakhir bahwa beberapa operator terbesar mulai mengalami masalah dari sisi rapor keuangannya pada satu hingga dua tahun terakhir.
“Jadi, bila intrusive advertising langsung dilarang oleh pemerintah, hal itu bisa makin mengurangi kekuatan operator telekomunikasi di Indonesia untuk bertahan,” ujarnya.
Sedangkan dari sudut pandang lain, intrusive advertising dianggap oleh berbagai pihak memiliki dampak negatif. Di antaranya yaitu persaingan tidak sehat disebabkan iklan terkadang ditampilkan di situs kompetitor secara langsung.
Dalam hal ini, operator mengarahkan pengguna ke alamat operator terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan iklan. Praktik ini dapat digolongkan sebagai upaya hijacking atau hostile redirecting untuk menghasilkan keuntungan sepihak.
Praktik ini juga dianggap menyalahi hak pemilik nama domain dan IP address karena menumpangi tanpa ijin akses ke domain atau alamat IP tersebut. Tidak hanya itu, secara tidak langsung hal juga mengganggu kenyamanan pengguna atau pengakses situs dan merugikan pemilik media.
“Operator tentu perlu mempertimbangkan, pada saat pelanggan ada dalam critical time atau injury time, misalnya dimana pelanggan amat membutuhkan informasi dengan cepat tentang lokasi rumah sakit atau informasi penting lainnya. Keterlambatan barang beberapa detik bisa membuat persoalan menjadi pelik bagi pelanggan.”
Secara lebih serius, intrusive advertising dapat dianggap melanggar Pasal 32 Ayat 1 UU No.11/2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang isinya yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.
Terkait dampak atau indikasi gangguan, kemungkinan ada pula yang menafsirkan intrusive advertising sebagai pelanggaran intersepsi yang terkait dengan Pasal 31 Ayat 1 UU No.11/2008 tentang ITE. Isi dari UU tersebut yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.
Namun, diakui Dimitri terdapat pandangan berbeda mengenai pelanggaran pasal-pasal UU No. 11/2008 ITE tersebut bahwa intrusive advertising bisa dianggap suatu jeda, bukan pengubahan, penambahan, atau pengurangan dan lain-lain. Tentang intersepsi sendiri, dinilai belum ada indikasi apapun yang bisa disebut sebagai intersepsi.
Oleh karena itu, regulasi dinilai penting sesuai dengan pertimbangan bahwa dalam era di mana jaringan dan layanan maupun perusahaan ketiganya terkonvergensi. Pemerintah dituntut harus dengan proaktif bisa memilih pendekatan hukum yang tepat untuk setiap kasus, apakah pendekatan legislation, regulation atau self-regulation, dimana praktik intrusive advertising ini pendekatannya berkaitan dengan ranah regulasi.
“Hal-hal tersebut menjadi syarat perlu atau necessary condition agar konflik-konflik seperti ini bisa dihindari dan justru segera diubah menjadi keuntungan bagi bangsa,” ujarnya.