Beberapa hari terakhir, banyak media yang mewartakan hal terkait intrusive advertising. Sesuatu yang wajar untuk menjadi gaduh, mengingat kian intimnya masyarakat kita dalam beraktivitas di dunia maya, hingga sensitif soal kenyamanan.
Dalam pandangan penulis, regulator terkait yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) maupun Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), harus segera turun tangan dengan membuat regulasi baru yang lebih jelas mengatur hal ini.
Hal ini dikarenakan menyangkut kepentingan para pihak yang strategis, bahkan menjurus posisi dilematis, yang jika salah penanganan jelas merugikan lebih banyak pihak.
Dari sudut pandang pandang operator telekomunikasi, intrusive advertising bisa dipandang sebagai salah satu cara mengimbangi kekuatan OTT (Over The Top) seperti Google, YouTube, Facebook, dll.
Sudah menjadi rahasia umum, penghasilan operator telekomunikasi dunia belakangan tertekan luar biasa dan bergeser menjadi penghasilan dan nilai perusahaan OTT yang semakin melejit.
Seluruh jaringan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun operator terdegradasi menjadi pipa, dan OTT bebas mengelola isinya, menembus batas-batas negara, bahkan boleh dibilang imun terhadap pajak dan implikasi hukumnya.
Contohnya salah satu sumber penghasilan utama Google adalah online advertising, atau karib disebut Google Adsense. Kita juga sering disuguhi intrusive advertising oleh YouTube misalnya, pada saat ingin menonton video klip yang kita inginkan.
Di sisi lain, bisnis telekomunikasi di Indonesia diprediksi memiliki nilai pertumbuhan amat kecil atau bahkan cenderung negatif! Itulah sebabnya, proses akuisisi sudah terjadi bukan? Tapi penulis tetap memuji kemampuan operator telekomunikasi di Indonesia untuk bertahan dan survive.
Data global yang dihimpun Sharing Vision menunjukkan relasi fakta. Diperkirakan dari 1,6 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2013, 1 miliar di antaranya pengguna OTT. Dari 3,1 miliar pengguna smartphone di dunia tahun 2017, 2,1 miliar pengguna OTT.
Dalam sebuah riset tahun 2013 lalu, 43% operator melihat Skype sebagai ancaman utama. Profil Skype saat ini adalah 280 juta user aktif (2013) dengan total penggunaan 2 miliar menit per hari (7 menit per hari per user) yang setara 730 miliar menit per tahun (2.555 menit per tahun per user). Dengan kondisi seperti ini, Skype membebani operator telekomunikasi dunia sekitar Rp 1,2 triliun per hari (Rp 438 triliun per tahun).
Pergeseran voice dan messaging ke OTT seperti WhatsApp, Line, Skype dan lainnya ternyata sudah dirasakan dampaknya oleh industri operator seluler dunia. Bisnis voice diperkirakan turun dengan CAGR -2,5 %, sedangkan SMS -4,2 %. Riset lain menyebut jika YouTube saat ini menyumbang setidaknya kira-kira 24% global mobile trafik.
Oleh karena itulah, apabila intrusive advertising langsung dilarang pemerintah, hal itu malah bisa makin mengurangi kekuatan operator telekomunikasi di Indonesia untuk bertahan.
Memang, dari sudut pandang lain, intrusive advertising dianggap memiliki dampak negatif. Antara lain persaingan tidak sehat disebabkan iklan terkadang ditampilkan di situs kompetitor.
Dalam hal ini, operator mengarahkan pengguna ke alamat operator terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan iklan. Praktik ini bisa kita golongkan upaya hijacking atau hostile redirecting untuk menghasilkan keuntungan sepihak.
Juga bisa diklasifikasikan menyalahi hak pemilik nama domain dan IP address karena menumpangi tanpa ijin akses ke domain/alamat IP tersebut.
Hal minor lainnya adalah mengganggu kenyamanan pengguna/pengakses situs dan merugikan pemilik media. Operator perlu bijaksana, ketika pelanggan ada dalam critical time atau injury time/emergency, di mana pelanggan amat butuh informasi dengan cepat tentang lokasi rumah sakit, atau informasi penting lainnya. Keterlambatan beberapa detik bisa membuat persoalan menjadi pelik bagi pelanggan.
Lebih lanjutnya lagi, intrusive advertising bisa dianggap melanggar Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.”
Terkait dampak/indikasi gangguan ke (2), kemungkinan ada pula yang menafsirkannya sebagai pelanggaran intersepsi. Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.”
Namun penulis juga patut menyodorkan pendapat netral, yakni intrusive advertising bisa dianggap suatu jeda, bukan pengubahan, penambahan, atau pengurangan dan lain-lain.
Apapun itu, kesimpulannya pemerintah harus segera turun tangan dan menata hal ini tanpa bisa ditunda-tunda lagi!
Bagaimana segera menetapkan regulasi hal ini tanpa mengundang multi tafsir, namun di sisi lain memuaskan rasa keadilan berbagai pihak terkait, terutama dari sisi pelanggan, juga para operator telekomunikasi maupun penyedia konten internet, dengan tidak melupakan dimensi ancaman kebangkrutan operator telekomunikasi Indonesia di era supremasi OTT. Intinya, harus ada keseimbangan dari hiruk pikuk kasus ini.
Dalam konteks Seleksi Menteri Detikcom dan dikaitkan kasus iklan ini, maka selayaknya Presiden-Wapres terpilih, Jokowi-JK, harus dicari Menteri Komunikasi dan Informasi yang tegas, proaktif, memiliki wawasan hukum teknologi informasi telekomunikasi nasional dan global yang kuat, memihak pada rakyat kecil dan bisa memelihara harmoni industri.
Juga, tetap mengedepankan ketahanan informasi, kedaulatan bangsa, sekaligus mampu menunjang program-program pemerintahan yang progresif melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi, sekaligus kekuatan netizen dan crowdsourcing.
Hal di atas menjadi syarat perlu agar konflik-konflik semacam instrusive advertising ini ke depannya bisa kita hindari, dan malah segera diubah menjadi berbagai peluang terbaik bagi Bangsa Indonesia.
*) Penulis: Dr. Dimitri Mahayana merupakan chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/ www.sharingvision.com