Jakarta – Banyaknya kasus pelanggaran yang terjadi di sektor telekomunikasi Indonesia belakangan ini tak lain karena lemahnya regulasi yang ada. Sebut saja kasus pencurian pulsa dan anjloknya kualitas jaringan layanan.
Regulasi telekomunikasi kita dinilai tak sekokoh regulasi perbankan. Padahal, jika dibandingkan dengan bank yang ‘hanya’ melayani 40 juta pelanggan, telekomunikasi harusnya lebih diperhatikan karena melayani hampir seluruh penduduk Indonesia dengan 250 juta nomor yang beredar.
“Sudah seharusnya industri telekomunikasi kita punya regulasi seperti Manajemen Risiko Teknologi Informasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI),” kata Chairman Sharing Vision Dimitri Mahayana.
Aturan BI dengan detail 150 halaman tersebut, seharusnya bisa dicontoh untuk aturan telekomunikasi. Misalnya, audit TI untuk suatu sistem yang diimplementasikan operator. Sehingga jika terjadi kesalahan bisa diproses dan jelas siapa yang bertanggungjawab.
“Lebih penting lagi, ada akuntabilitas terhadap sistem yang dijalankan. Seperti pada kasus pencurian pulsa, sudah pasti bisa ketahuan siapa saja yang nakal. Tak ada lagi yang bisa mangkir dari tanggung jawab,” jelas Dimitri.
Ia menyarankan agar Menkominfo mengeluarkan Keputusan Menteri (KM) terkait Manajemen Resiko Teknologi Informasi untuk memperkuat aturan telekomunikasi. Menurutnya, salah satu yang harus disasar jika aturan itu sudah diterbitkan oleh regulator adalah audit sistem penagihan oleh operator.
“Harus ada kejelasan tentang penggunaan pulsa yang ada di operator. Seringkali pulsa hangus setelah pelanggan melewati masa tenggang. Harus diingat, pulsa itu masih hak pelanggan jika belum digunakan, belum menjadi hak operator. Aturan ini harus jelas,” katanya.
Masalah QoS
Sharing Vision sendiri menggarisbawahi adanya perbedaan quality of services (QoS) antara perbankan dengan telekomunikasi. Terlebih, Qos dari operator telekomunikasi dinilai kian memprihatinkan dan jauh dari standar sehingga berujung merugikan masyarakat.
“Salah satu tantangan dari industri telekomunikasi pada 2012 ini adalah mengatasi QoS yang kian memburuk ini. Salah satu segmen pengguna yang paling mengeluh dari SMS Banking,” kata Dimitri.
Diungkapkannya, dari survey yang dilakukannya terhadap pengguna SMS Banking, hal yang paling dikeluhkan terkait SMS konfirmasi lambat diterima, SMS layanan tidak terkirim, dan pulsa terpotong meskipun gagal melakukan transaksi.
“Jika dari layanan suara call attempting saja sudah turun rasionya. Coba saja menelepon ke sesama operator, untuk mendapatkan nada sambung saja sudah susah. Saya menduga ini akibat dampak perang pemasaran tak terkendali yang tidak diimbangi optimisasi jaringan,” katanya.
Secara terpisah, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengatakan QoS salah satu yang menjadi perhatian dari regulator.”Kami terus memantau cara operator menangani keluhan pelanggan terhadap kualitas. Sesuai standar operasi, jika tidak beres, tentu harus ada klarifikasi,” tegasnya.
Operator diminta untuk berkomunikasi secara intens jika terjadi gangguan jaringan layaknya menginformasikan program pemasarannya.
“Jangan kalau ada gangguan jaringan, pengumuman paling banter via situs perusahaan dan itu pun kalau sudah ramai di media massa. Seharusnya diinformasikan minimal melalui SMS broadcast, agar pelanggan tidak mencari tahu sendiri dan mendapatkan informasi liar yang ujungnya merugikan operator sebagai penyedia jasa,” keluhnya.
Salah satu contoh kasus QoS yang terbaru adalah gangguan jaringan di Telkomsel. Beberapa pelanggan Telkomsel di Jabodatabek sempat mengalami gangguan dalam berkomunikasi, seperti mengecek pulsa dan mengirimkan SMS.
“Iya, beberapa hari lalu ada gangguan, tapi sudah recover. Kalau ada pelanggan yang dirugikan ya bisa datang ke Grapari atau Call Center untuk diinvestigasi dan kemudian ambil tindak lanjut,” kata Deputi VP Sekretaris Perusahaan Telkomsel, Aulia E Marinto.
Sumber