Mencari Kebijakan dalam Internet Crowd

Ke manapun kita melangkah, kapanpun bergerak, rasanya kini takkan bisa lepas dari internet –terutama di kota-kota besar di Indonesia maupun dunia. Ini bukan cerita soal kemewahan, ini bercerita soal kondisi ubiquitous (ada di mana-mana dalam satu waktu).

Sekalipun layanan berbayar masih dominan, namun kehadiran layanan gratis dengan akses WiFi kini bukan lagi mewabah. Lebih dari itu, seperti kita bisa simak di berbagai kafe/pusat keramaian, layanan WiFI gratis sudah jadi nilai jual pusat komersial.

Maka tak berlebihan jika penulis menyebut keseluruhan fenomena ini sebagai era broadband anyspace. Periode dimana layanan berbasis pita lebar sudah menyeruak dalam seluruh sendi masyarakat, bahkan sudah jadi kebutuhan vital seumpama oksigen bagi sebagian orang.

Broadband anyspace ini bisa mudah kita lihat. Misalnya tekad dari CEO Telkom Arief Yahya di tahun 2013 yang mencanangkan pemasangan sedikitnya 1 juta WiFI (setara 10 juta pengguna) se-Indonesia, termasuk di dalamnya titik WiFI program Indonesia Digital School/Indischool.

Jangankan di darat, akses dunia maya pun kini kian mudah ditemukan di udara dan lautan. Maskapai Garuda Indonesia sejak akhir tahun lalu sudah memberikan layanan WiFi ketika pesawat berada di di ketinggian di atas 10 ribu kaki (layanan tidak diperkenankan digunakan pada saat pesawat dalam posisi taxi, take off dan landing).

Secara legal, aktivasi layanan ini sudah berhasil melewati pengujian perangkat, pengukuran sinyal terhadap access point, dan BTS pico seluler di GSM 1800 oleh Direktorat Standarisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Ini baru di negeri kita, tetapi sebelumnya sudah banyak yang menyediakan seperti British Airways (Inggris), Royal Jordanian (Yordania), Oman Air (Oman), Lufthansa (Amerika Serikat), Cathay Pacific (Hongkong), TAM (Brasil), TAP (Portugal), Egyptair (Mesir), dst.

Di lautan, layanan Pilot Irridium dari vendor Irridium telah memungkinkan manajemen lalu lintas dan kemampuan konfigurasi massal sebuah kapal laut berbasis internet yang bisa diakses dari koordinat laut di manapun. Indotelsat adalah vendor lokal penyedia layanan sejenis.

Maka itu, dengan melihat fenomana global dan lokal ini, grafik pengguna tren broadband anyspace ini bergerak eksponensial secara periodik seperti kita lihat dalam gambar berikut:

tren_broad

Penulis kemudian mengamati, terutama di Indonesia, kemudahan akses internet ini telah menciptakan banyak ruang baru komunikasi kelompok/kerumunan (crowd) dengan segala dampak positif-negatifnya.

Terlebih jika mengacu survei Sharing Vision tahun lalu. Bahwa pengguna terbanyak mengakses media sosial, maka kita melihat internet crowd ini kian lama kian menggurita, sehingga bisa menjadi penggalang opini tersendiri di masyarakat.

Dalam beberapa hal, kerumunan internet ini bergerak masif dan menghasilkan efek sangat positif karena membantu menegakkan kebaikan berkat efek opini berantai yang diciptakannya. Misalnya kita bisa melihat dalam kasus TKI Satinah beberapa waktu lalu.

Di dunia bisnis, kita mengenal sribu.com, yang mengumpulkan banyak sekali orang dengan berbagai latar namun menyukai desain grafis, sehingga logo dan sejenisnya bisa dikerjakan oleh kerumunan yang berkompetisi dengan hasil istimewa.

Namun harus diakui, suka tidak suka, bahwa internet crowd yang positif ini belumlah sebanyak yang negatif. Atau setidaknya-tidaknya belum mengimbangi berbagai kemudaratan, terutama berbentuk fitnah sebagai imbas internet crowd yang tidak sehat.

Kita masih ingat dengan kerumunan yang diprovokasi, bahkan dibayar, untuk menjelek-jelekkan calon presiden Indonesia 2014-2019. Akibatnya, negeri ini terpecah belah karena kepentingan sesaat yang boleh jadi tidak disadari mereka yang terprovokasi.

Juga, seperti banyak kita temukan, betapa kemudahan akses internet ini tidak menggiring masyarakat mudah pula cross check sebuah fakta sumir. Lebih banyak yang langsung percaya, menelan mentah, untuk kemudian disebarluaskan ke kerumunan lain.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis mengajak pembaca untuk bersama-sama mencari kebijakan saat terjalin komunikasi massa di internet. Setidaknya ada empat pemikiran yang bisa dijadikan alternatif solusi sebagai berikut.

Pertama, terlalu banyak komunikasi di grup (apalagi berbasis digital yangfaceless) terkadang bukan solusi, bahkan bisa memperkeruh keadaan. Yang lebih penting adalah proses agregasi atas informasi yang ada. Bisa melalui konfirmasi, klarifikasi, mencari data pembanding, dst.

Kedua, informasi yang benar harus disampaikan kepada right people in the right place, at the right time, and in the right way. Terkadang kerumunan di dunia maya terburu-buru menyampaikan semuanya, atau menyampaikan dalam situasi psikologis kurang pas.

Hal ini bukan saja bisa mengaburkan subtansi kebenaran, namun sekali lagi malah memperkeruh keadaan. Untuk itulah, diperlukan kematangan sikap dalam menelaah situasi sekaligus melihat waktu terbaik ketika kita hendak berkomunikasi.

Ketiga, informasi akhir seyogyanya hasil dari kesepakatan semua pihak. Konsepsi musyawarah untuk mufakat terasa masih relevan, sekalipun dalam internet crowds. Karena itu, jika informasi akhir berbasis massa yang hendak dicari, carilah suara terbanyak.

Keempat, manusia sebenarnya memiliki kemampuan tinggi dalam mencerna informasi, namun terkadang terpengaruh oleh opini yang kadung beredar. Karena itulah, tegakkan kemampuan Anda dalam mencerna banjir informasi apapun yang masuk.

Mari jangan pernah jadikan diri kita korban informasi internet crowd yang tidak bertanggungjawab. Ingat, dunia nyata sama dengan dunia maya. Maka, ambil kebijakan kerumunan dunia maya dengan berlaku tak mudah terprovokasi, cerdas, dan budayakan konfirmasi!

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana merupakan chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/www.sharingvision.com

sumber: http://inet.detik.com/read/2014/05/02/133025/2571394/398/1/mencari-kebijakan-dalam-internet-crowd

Shopping cart0
There are no products in the cart!
Continue shopping
0