Jakarta – Diwartakan detikINET, Jumat (5/8/2016), perusahaan TMT (technology, media, & telecommunication) yang relatif sangat belia, Go-Jek memperoleh kucuran dana dari konsorsium ventura. Jumlahnya sangat fantastis: USD 550 juta alias Rp 7,2 triliun!
Mengacu berbagai literatur, jika mengacu valuasi dan kepercayaan investor, ‘si anak kemarin sore’ ini melompati demikian banyak variabel dari perusahaan transportasi kriteria ‘si bapak sudah matang’ semacam Bluebird, Damri, bahkan mungkin Garuda Indonesia.
Kita sedang termangu, juga terkaget-kaget dengan fenomena ini di Tanah Air. Akan tetapi, di luar sana, dan sudah sejak lama, lompatan kuantum perusahaan belia berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK) terus terjadi. Menariknya, mereka rerata tak punya aset.
Konsep sharing economic-lah yang membuat selain valuasinya tinggi, juga perlahan pasti, banyak layanan di dunia ini sedang mengalami pergeseran hebat. Kita ambil contoh di Amerika Serikat, yakni taksi reguler yang terus tergerus Uber.
Pada Januari 2014, tingkat penggunaan taksi reguler masih mencapai 86% dan Uber 14%. Enam bulan kemudian, Juli 2014, Uber naik ke 28% dan taksi biasa 72%. Setahun kemudian, Januari 2015, Uber mencapai 45% atau nyaris berimbang.
Dengan historis perusahaan rerata kurang dari 10 tahun (tanpa punya aset), sementara pelaku bisnis transportasi konvensional sudah puluhan tahun (dan punya banyak aset namun terus terdepresiasi), Uber adalah cerminan global — simak grafis di bawah ini.
Sumber: Sharing Vision dalam ‘Disruptive Trend’ 2016, 25-26 Agustus 2016.
|
Selain sektor transportasi, pergeseran signifikan terjadi pada sektor ritel. Betapa hari ini, cara kita belanja sudah tak persis sama lima tahun yang lalu. Dari mulai belanja harian hingga belanja insidentil, khususnya beli tiket kereta dan pesawat, banyak hal baru.
Masyarakat urban Indonesia memilih belanja tersebut dengan cukup duduk di rumah; Seraya santai menggunakan celana pendek dan cukup berbekal ponsel cerdas yang disertai aplikasi pembayaran perbankan daring/payment gateway.
Kita sudah jengah dengan kemacetan, sulit cari parkir, dan antrian tak bertepi. Sekira tidak penting-penting amat, ujung jari menari lincah di layar untuk kemudian peroleh hantaran segalanya di rumah dalam skema besar bernama e-commerce.
Bahkan, dengan segala kepraktisan dan kemudahan tersebut, berbagai aplikasi e-dagang yang notabene berasal dari tanah air berhasil dominan dan tak bisa dilewati tiga market leader secara global: Amazon, eBay, dan AliBaba.
Sumber: Sharing Vision dalam ‘Disruptive Trend’ 2016, 25-26 Agustus 2016.
|
Kesimpulan
Maka, apa yang bisa kita petik dari seluruh pergerakan-pergerakan ajaib ‘si anak kemarin sore’ ini? Apakah betul bisnis konvensional harus serta merta mengadopsi pergerakan mereka, dan sebaliknya seluruh inisiasi bisnis awal harus selalu daring?
Pertama sekali, seluruh kejadian ini menegaskan apa yang disebut dengan teorema Megatrend 2020. Bahwa seluruh dunia bergerak bersama menuju sistem dalam jaringan, lebih cyber, dan seluruhnya terkoneksi dalam sistematika sebuah global village.
Jika contoh di atas baru pada sektor transportasi dan ritel, percayalah bahwa sekalipun senyap, ini bergeser ke semua industri. Mulai dari telekomunikasi, travel, pendidikan, properti, otomotif, bahkan sampai urusan asisten rumah tangga — pembantu.com, Gomaid.com, tukangbersih.com, dst.
Dan eskalasi pergeseran menuju online tersebut di Indonesia hingga lima tahun ke depan akan terus tinggi, terutama dipicu oleh pertumbuhan sektor ritel dan transportasi yang double digit sebagai pemicunya. Maka, Go-Jek boleh jadi hanya awalnya.
Dan, dimana ada gula manis, semut raksasa akan menyergap cepat. Itu sebabnya, seperti ditunjukkan ventura ke Go-Jek, investor global kian menunjukkan antusiasmenya di pasar Indonesia yang tengah seksi ini. Detail investor ini, siapa saja mereka dan apa yang dibidiknya, akan kami kupas dalam helatan ‘Disruptive Trend’ di Bandung, 25-26 Agustus mendatang.
Seluruh pergerakan ini kemudian memperlihatkan betapa bisnis bisnis tradisional menurun. Namun alih-alih menyalahkan, industri terkait seharusnya proaktif mengantisipasi perubahan ini. Antisipasi tepat menjanjikan peluang emas. Antisipasi lambat berakibat fatal.
Kata kuncinya terletak pada layanan berharga/bertarif kompetitif, segalanya terukur, serta memiliki nilai kepraktisan tinggi. Apa yang diberikan tidak semata memberi pengalaman baru yang keren, namun menyajikan tetap bersaing, user friendly, dan selalu mudah digunakan.
Jadi, bagi pelaku maupun regulator, kita perlu mengadopsi nilai dan spirit customer centric di era global dan melek teknologi saat ini sambil perbaiki tatanan baru ini. Jangan alergi, apalagi merasa diri sebagai pelaku legacy yang meletakkan fondasi namun enggan ikuti dinamika masyarakat.
*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui [email protected]. (ash/ash)
Tulisan ini juga dimuat di : http://inet.detik.com/read/2016/08/09/100752/3271333/398/kala-si-anak-kemarin-sore-mengubah-tatanan-industri
[rev_slider home]