JAWABAN dari pertanyaan judul artikel di atas, akan didasari dua data riset telematika yang menjadi spesialisasi penulis. Data pertama, Stanford University, AS, melalui Human-Centered AI merilis riset Artificial Intelligence Index Report pada tahun ini. Hasilnya adalah 78 persen orang Indonesia cenderung memiliki pandangan positif bahwa kecerdasan buatan (AI/Artificial Intellegence) akan membawa lebih banyak manfaat daripada kerugian.
Hal ini cukup berbeda dengan beberapa negara seperti AS, Kanada, dan Perancis. Ketika dirincikan lagi, angka tersebut didapatkan dari perbandingan resume pendapat orang Indonesia dan masyarakat global. Masyarakat global menyebut AI dapat meningkatkan efisiensi tugas sebesar 54 persen, sementara masyarakat Indonesia sebesar 72 persen.
Selanjutnya meningkatkan pilihan entertainment seperti TV, film, musik, dan buku (Global 51 persen : Indonesia 71persen), bermanfaat bagi kesehatan (39 persen : 58 persen), meningkatkan kualitas pekerjaan (37 persen : 62 persen), meningkatkan perekonomian negara (34 persen : 58 persen), serta meningkatkan pasar pekerjaan (32 persen : 50 persen). Namun menariknya, saat ditanya kekhawatiran dampak AI di masa depan, persentase jawaban masyarakat Indonesia mayoritas lebih tinggi dari masyarakat global. AI punya potensi penyalahgunaan/penggunaan untuk tujuan jahat disebut 66 persen masyarakat Indonesia, sementara masyarakat global 49 persen.
AI Berdampak pada pekerjaan (Global 59 persen : Indonesia 49 persen), pelanggaran privasi (46 persen : 45 persen), kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan (36 persen : 34 persen), dampak AI pada pendidikan (35 persen : 33 persen), potensi bias dan diskriminasi (33 persen : 24 persen), akurasi hasil dan analisis (30 persen : 28 persen), kemampuan dalam menggunakan AI (30 persen : 22 persen), akses yang tidak merata ke AI (29 persen : 26 persen), dehumanisasi layanan yang ada (28 persen : 41 persen), dan implikasi etika (23 persen : 30 persen).
Data kedua, AI saat ini masih dalam tahap awal. Ada empat fase yang akan dilewati, yakni Assisted Intelligence, Automation, Augmented Intelligence, dan Autonomous Intelligence.
Assisted Intelligence mencakup Tahap 1 Rule Base AI System, Automation (Tahap 2 Context Awareness & Tahap 3 Retention System dan Domain Spesific Mastery System), Augmented Intelligence (Tahap 4 Thingking & Reasoning System dan Tahap 5 Artificial General Intellegence), serta Autonomous Intelligence (Tahap 6 Artificial Super Intellegence).
Saat ini, masyarakat Indonesia dan global tengah memasuki Tahap 4 dan Tahap 5 atau sedang di fase Augmented Intelligence. Detailnya lihat gambar di bawah:
Maka, merujuk dua tiga data ini, di mata penulis, sebenarnya eksistensi AI ini masih menjadi pertanyaan besar: Apakah bermanfaat atau merugikan umat manusia?
Pun demikian, negara-negara maju cenderung lebih kritis mempertanyakan manfaat AI dibandingkan kita masyarakat Indonesia.
Bahkan, ada kesamaan sikap masyarakat global dan kita di Tanah Air, yakni 35 persen responden mengkhawatirkan dampak AI terutama ke dunia pendidikan.
Terkait hal ini, ketika salah satu aplikasi AI, yakni ChatGPT kian marak digunakan di dunia pendidikan, maka filsuf Amerika, Harry G. Frankfurt, mengemukakan premisnya.
AI semacam ChatGPT, baginya, adalah soft bullshitter karena banyak memenuhi kriteria tidak peduli dengan kebenaran.
Alasan pertama karena AI seperti itu tidak memiliki kapasitas memiliki maksud (intention) atau kepedulian terhadap kebenaran pada pernyataannya.
Kemudian, AI serupa ChatGPT dirancang menghasilkan teks yang menyerupai buatan manusia berdasarkan training data, sehingga pernyataannya bisa saja benar secara kebetulan.
Terakhir, karena ChatGPT dan AI yang serupa dengan itu tidak memiliki concern akan kebenaran, peranti ini lebih fokus meyakinkan pengguna bahwa pernyataannya benar bukan pada akurasi pernyataan tersebut.
Beberapa uji coba yang dilakukan penulis dan rekan-rekan tim penulis yang concern tentang hal ini, yakni Paman Apiq Agus Ngermanto, Budi Sulistyo, dan Budi Raharjo, Ph. D, menunjukkan untuk banyak operasi matematika sederhana, jawaban beberapa AI terkemuka semacam ChatGPT tidak valid.
Saat menulis ini, penulis melakukan uji coba; salah satu AI menjawab bilangan prima antara 100 hingga 10000 dengan jawaban 664; dan check recheck ke kalkulator bilangan prima menunjukkan jawaban yang lebih benar adalah 1024.
Beberapa hari sebelum ini, penulis mencoba membangun presentasi dengan AI. Walaupun hasil dan desainnya nampak bagus; namun penulis merasa untuk beberapa hal yang cutting-edge, uraian yang diberikan oleh AI tersebut tidak memiliki benang merah, kurang bisa dipahami, dan nampaknya tidak memiliki validitas dan kebenaran.
Terkait hal ini, di tengah bimbangnya kita akan faidah dan mudarat AI, serta terbelahnya sikap masyarakat dunia dan Indonesia akan eksistensinya, namun penting untuk jadi bahan kontemplasi sekaligus solusi, terdapat pertanyaan mendasar.
Pertanyaan ini disampaikan kolega penulis, yakni Budi Rahardjo, seorang pakar keamanan teknologi informasi yang juga dosen STEI ITB: Apakah AI ini memiliki kesadaran?
Bersambung ke bagian II